Jumat, 18 September 2015

BIG CHOICE

Beberapa hari yang lalu... Aku membaca link di salah satu grup blogger ku... Ada ibu muda yang baru saja posting tentang keputusan besar salam hidup yang baru saja di ambilnya...
Mulai blogwalking dan membaca tulisannya.. Memang benar² keputusan yang sangat berani... Dia resign sebagai reporter di salah satu stasiun televisi yang sangat populer dengan seragam merahnya... Yang isi nya banyak di siarkan tentang berita politik, dll..
Tentu saja akan langsung terbayang betapa kerennya bekerja di stasiun tivi, betapa serunya bertualang ke berbagai macam tempat di seluruh bagian Indonesia bahkan luar negeri, dan berapa gaji seorang  reporter di stasiun tivi swasta yang sangat terkenal.
Tapi dia sia²kan begitu saja... Uuuhhh sayang sekali... Sungguh sayang sekali, melakukan resign di saat berjuta² orang ingin berada di posisinya..... Apa siiih yang dia pikirkaan??

Mungkin sebagian besar orang akan berkata/berkomentar seperti itu.

Duluuuu, aku juga berpikir seperti itu. Sayang sekali meninggalkan pekerjaan yang sudah sangat dicintai, meninggalkan teman² yang sudah menjadi keluarga.

Tapiii.. Sekarang aku paham kenapa orang² melakukan keputusan besar itu...aku mengerti di saat menjadi dan merasakan seperti mereka. Karena mereka semua, terutama para perempuan itu cinta keluarganya........ Yaaah... Mereka membuat keputusan besar itu hanya demi keluarga. Demi keluarga kecilnya.. Ada yang ingin fokus mengurus suami, menjadi istri yang taat, untuk program kehamilan, mengurus anak dan rumah tangganya, ingin lebih fokus pada pengasuhan dan pendidikan anak, dll.. Seperti kisah bunda muda itu, dia ingin fokus pada program kehamilannya dan ingin fokus mengurus suami. Karena ketika bekerja, dia hanya punya sedikit waktu saja untuk suaminya, beberapa kali mengalami keguguran karena lelah fisik.

Sebenarnya, aku sering tergoda untuk melakukan hal yang sama dengan bunda muda itu.. "Mengambil keputusan besar"
Apalagi suamiku sangat mendukung jika keputusan itu segera terlaksana.. Agar bisa fokus dengan bisnis online ku supaya bisa segera merambah ke bisnis offline, punya tempat usaha. Katanya... Mau sampai kapan berada dalam zona aman, yang tiap bulan menerima gaji. Tidak berpikir kreatif bagaimana akan memajukan bisnisnya, mencari peluang bisnis lain.

Tapii, sungguh aku belum berani, belum mampu.
Aku belum siap keluar dari zona aman.. Karena keadaan yang belum memungkinkan..

Sungguh, jika saja aku punya kekuatan, aku pasti akan segera mengambil keputusan besar itu.. Menerima anjuran hubby.. Supaya bisa fokus menjalani bisnis punya waktu lebih bersama anak, setiap saat bisa menemani mereka belajar..
Karena mau seberapa besar gaji yang istri peroleh ,seberapa banyak penghasilannya.. Tidak akan di berkahi Allah jika suami tidak ridho...
Dan aku sangat percaya akan hal itu..

Jadiiii...
Ora nduwe kesimpulan

Selasa, 15 September 2015

Belajar Senyum dari Chinno

Dari Chinno.... Anak kecil usia 7.5 tahun itu aku belajar banyak.
Banyak sekali... Namun di sini aku hanya membahas satu contoh saja, satu contoh yang membuat Bunda malu setengah mati pada diri sendiri.. Apaaaa ituuuu...??
Chinno selalu menyambutku dengan secercah senyum dan tertawa bahagia ketika melihatku saat menjemputnya pulang sekolah.. Seberapa lama aku terlambat menjemput, Chinno selalu menyambutku dengan perasaan bahagia.
Aaaahhh,, tertawa renyah dan senyum itu membuatku malu... Kenapa maluuu???
Yaaa.... Bunda malu sama Chinno yang selalu menunggu Bunda dengan sabar, terkadang menunggu sendirian di depan kantin sekolah, di pagar depan sekolah, di teras rumah depan sekolah, kadang ada satu dua temannya yang juga nunggu jemputan.. Meski jengkel karena di jemput terlambat, tapi ketika dia melihatku menjemputnya Chinno masih bisa tersenyum..
Chinno hanya beberapa kali bertanya kenapaa lama sekaliii?? Itupun ketika ndilalah aku lupa menjemput karena Chinno pulang lebih awal, dan aku menjemput di jam sekolah seperti biasanya, itu oun terlambat 15menit an.. Bayangkan berapa lama chinno menungguku...hampir dua jam... Ya Allah, Bunda macam apa aku inii... Atau pernah ketika aku lagi sakit ga bisa menjemput, dan Chinno akan bunda titipkan ke teman yang menjemput anaknya yang satu sekolah sama chinno, namun beda kelas.. Tapi ternyata Chinno ngga mau pulang sama temanku itu.. Chinno tetap menungguku.. Jadilah aku menjemputnya sendiri dengan kondisi badan yang ngga karu-karuan terlambat 1 jam lebih,, lalu bukannya minta maaf aku malah ngomel-ngomel ngga jelas... OMG, astaghfirulloh, jahatnya aku... Chinno hanya diam saja waktu itu, hanya bilang kenapa bunda terlambat jemput... Yaaah memang salahku, karena pagi nya aku belum berpesan kepadanya supaya pulang sekolah bareng temen bunda..
Sebenarnya Chinno pernah protes, kenapa jarang sekali di jemput tepat waktu. jawabanku hanya ada 2.. Yaitu 1. Bunda sengaja, karena males berdesak-desakkan dengan kendaraan lain, macet, susah cari parkir dll... 2. Bunda belum bisa keluar dari sekolah karena ada anak belum di jemput, rapat, koordinasi dan lain sebagainya... Itu jawaban di luar lupa tadii..
Dia tidak menuntut banyak dari jawabanku tadi.. Menerima apapun jawabanku kenapa jemput terlambat..
Daan dari hampir setiap hari aku terlambat menjemput itu aku mengucapkan ma'af ke Chinno bisa dihitung dengan jari..
Dari sini aku belajar dari Chinno... Belajar mengerti kondisi orang lain yang tidak bisa melakukan semua seperti yang kita maui, belajar bersabar dan bersabar lagi, belajar menutupi rasa jengkel dan marah dengan tetap tersenyum..
Alhamdulillah aku memiliki anugerah seperti Chinno..
Dia selalu mau mengerti kondisiku yang males berdesak desakkan, dll.. Dia selalu menerima jawabanku tanpa banyak debat, dia selalu bersabar menunggu..
Maaf kan Bunda ya sayaaanng..
Bunda akan terus belajar dan berusaha menjadi Bunda yang sholehah dan super untuk kamu dan adikmu...

Minggu, 03 Mei 2015

MATANG USIANYA DAHULU, BARU MASUK SD KEMUDIAN



Ada fenomena menarik belakangan ini. Beberapa orangtua berusaha memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar (SD) sedini mungkin. Bahkan, ada orangtua yang ingin memasukkan anaknya yang masih berusia 4,5 tahun hanya karena si orangtua khawatir, anaknya “ketuaan” saat masuk SD. Mereka juga merasa anaknya sudah siap masuk sekolah dasar, karena sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Coba, kurang apa lagi?

Ini jelas berbeda dari Lia Boediman, M.S..C.P., Psy, D., psikolog yang menghabiskan 22 tahun waktunya di Amerika dan baru kembali ke tanah air. Meski anaknya (5,5) sudah siap masuk sekolah dasar, tapi Lia malah menundanya. Semua itu sudah dipertimbangkan dengan matang, termasuk membicarakan dengan anaknya. Ternyata, anaknya pun setali tiga uang, ia masih ingin bersekolah di TK B dan belum mau masuk SD. Anaknya pun tak masalah bila nanti teman-teman sekelasnya di TK berusia lebih muda dari dirinya. Juga tak mengapa bila teman-teman seangkatannya di TK sudah berseragam merah putih alias duduk di kelas 1 sekolah dasar.

“Kalau usianya masih segitu, biarlah jika dia masih mau di TK B. Mungkin kalau usianya sudah 6 tahunan, pertimbangan saya, lain lagi. Bukankah untuk melanjutkan ke pendidikan dasar, minimal anak harus berusia 7 tahun? Jadi, meski anak saya sudah siap, biarlah dia dimatangkan lagi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan juga kemandiriannya. Dengan begitu, ia siap belajar dan tidak kapok karena tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah. Saya ingin menanamkan pada anak, sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Begitu juga dengan belajar, learning is fun and interesting. Dengan begitu, ketika di SD mereka akan mempunyai regulasi diri, tanggung jawab akan belajar, dan ketertarikan akan sekolah,” ungkap pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.

PASTIKAN ANAK MATANG

Menurut Lia, sebelum memasuki jenjang SD, anak sebaiknya memiliki beberapa aspek kematangan bersekolah, meliputi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan kemandirian. Jadi kemampuan anak menulis, membaca, dan berhitung saja tidak cukup. Itulah mengapa, untuk mengetahui kesiapan anak bersekolah, banyak SD yang mengharuskan para calon peserta didiknya melakukan tes kematangan sekolah.

Selain untuk kelancaran proses belajar mengajar, tes kematangan sekolah juga diperlukan untuk kebaikan anak itu sendiri. Bayangkan, secara aspek kognitif anak sudah matang, tapi dari sisi kemandirian, emosi dan aspek lainnya belum matang, sehingga akan menyulitkan dirinya dan juga pihak sekolah. IQ-nya boleh tinggi, tapi di kelas dia belum bisa melakukan toilet learning sendiri. Apakah gurunya yang harus membantu anak melakukan toilet learning? Itu jika satu anak, bagaimana bila dalam satu kelas ada beberapa anak dengan kondisi sama. Repot, kan? Tidak hanya itu. Ia juga mudah tantrum atau menangis. Meski secara kognitif ia siap, namun ketidakmatangan emosi ini akan menghambatnya saat bersosialisasi; anak akan dijauhi, tidak disukai teman-teman di sekolahnya. Bukan tidak mungkin nantinya anak menjadi malas atau mogok sekolah. Bahaya, kan?

Bila anak masuk ke sekolah yang menyeimbangkan aspek kognitif dan aspek lainnya, maka anak bisa saja mengejar ketertinggalan tersebut. Tapi bagaimana bila anak bersekolah di sekolah yang menekankan pada aspek kognitif semata? Di satu sisi kognitif anak akan semakin tinggi, tapi di sisi lain aspek yang kurang matang akan menjadi kurang terstimulasi. Akibatnya, aspek-aspek yang kurang matang akan semakin sulit berkembang, tertinggal jauh dari teman-teman lainnya yang sudah matang. Inilah yang akan menjadi masalah di kemudian hari, dimana di usia sekolah dasar anak harus terus-menerus disuruh belajar, lalu saat ujian orangtuanya stress karena sibuk belajar, menanya-nanya soal, membacakan, dan sebagainya. Nantinya, anak tidak bisa menjalin relasi sosial yang baik dengan orang lain, masih banyak dibantu, dan sulit untuk menjadi sukses.

“Ini yang tidak diinginkan, sehingga uji kematangan sebelum bersekolah perlu dilakukan.” Jadi tidak mentang-mentang bisa calistung, si kecil yang berusia 4 tahunan lantas bisa masuk sekolah dasar, ya, Bu-Pak.

KEMATANGAN MERUPAKAN PROSES

Kematangan anak untuk bersekolah merupakan proses yang terkait dengan aspek perkembangan anak secara keseluruhan dan proses ini dimulai sejak bayi. Kematangan anak harus dibina dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, anak diberi kesempatan untuk mandiri, bisa bersosialisasi, dan sebagainya. Kenalkan dan ajarkan kemampuan tersebut di rumah sesuai dengan tahapan usia perkembangannya.

Jadi, kematangan bersekolah ini tidak dinilai atau dilihat saat anak mau masuk sekolah dasar saja. Tahun depan anak mau masuk SD, lalu kematangannya dinilai 6 bulan sebelumnya. Tidak demikian. Tes-tes kematangan sekolah yang diberlakukan di beberapa SD, pada intinya untuk melihat gambaran mengenai kekurangan dan kelebihan anak tersebut. Sekolah-sekolah biasanya akan menerima anak dengan menyeleksinya sesuai standar tertentu.

Padahal, untuk mengetahui kematangan bersekolah anak dibutuhkan tenaga psikolog anak professional. Maka itu, orangtua disarankan membawa anaknya ke psikolog anak professional, meski tidak dipungkiri beberapa sekolah sudah melibatkan psikolog anak professional dalam tes itu.

Informasi kematangan bersekolah anak ini diperoleh psikolog dengan cara mewawancarai orangtua si anak mengenai perkembangannya, mendapatkan informasi dari guru TK sebelumnya, dan juga melakukan observasi pada anak langsung dengan bertanya, berinteraksi dengan bermain, dan mengobservasi lainnya. Dengan begitu dapat diketahui seperti apa perkembangan diri si anak. Selain itu, dilakukan pula tes intelegensi untuk mengetahui kemampuan kognitif anak. Lewat serangkaian proses itu dapat diperoleh rekomendasi, apakah anak sudah matang untuk melanjutkan ke jenjang SD atau tidak.

SETIAP ANAK BERBEDA

Kematangan setiap anak tentunya berbeda-beda. Selain dipengaruhi usia, juga oleh temperamen, cara belajar anak selama ini, tahap perkembangannya, serta faktor lingkungan yang mendukungnya. Umumnya, pada anak-anak normal, di usia 6-7 tahun anak sudah matang alias siap untuk bersekolah. Kecuali pada anak-anak yang mempunyai masalah dengan perkembangannya, seperti ada hambatan kognitif, bahasa, dan sebagainya, tentunya di usia 7 tahun belum bisa masuk SD karena ada masalah tersebut.

Memang, di usia 6-7 tahun itu boleh jadi ada beberapa aspek anak yang mungkin saja belum matang, tapi yang harus diingat, kematangan anak untuk bersekolah tidak dilihat dari satu aspek saja, tapi secara keseluruhan. Apalagi dalam setiap aspek, misalnya, aspek bahasa terdiri atas beberapa komponen, begitupun aspek motorik, dan sebagainya, masing-masing ada komponennya.

Jadi, bisa saja anak secara aspek kognitifnya sudah matang, namun secara sosial masih pemalu. Bukan berarti anak belum matang untuk masuk SD. Kekurangan anak atau kurang siapnya anak secara sosial tersebut masih bisa diupayakan, di-support untuk lebih matang dalam aspek tersebut.
Maka itu, pemilihan sekolah pun menjadi penting. Pilihlah sekolah yang menyeimbangkan semua aspek perkembangan anak. Tidak hanya kognitif, tapi juga aspek lainnya, sehingga semua aspek anak dapat terasah secara optimal.

KERJA SAMA ORANGTUA-SEKOLAH

Mengingat sistem pendidikan di tanah air yang cenderung kurang memberikan kematangan pada aspek lain selain kognitif, maka diperlukan kerja sama antara orangtua dan pihak sekolah (SD). Orangtua harus berperan aktif dengan cara mengenal baik anaknya, mengetahui bagaimana tahapan perkembangannya, mengetahui kekurangan dan kelebihan anaknya, sehingga orangtua tahu apa yang dapat dilakukannya atas kekurangan yang dimiliki agar menjadi lebih baik serta dapat memaksimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Contoh, orangtua melihat anak masih kurang mandiri, maka orangtua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri. Contoh lain, aspek sosial anak tampak masih kurang, maka anak sering-sering diajak berinteraksi dengan temannya atau orang lain.

Pihak sekolah dasar juga seharusnya bisa melihat beban-beban yang diberikan kepada muridnya agar seimbang pada setiap aspek perkembangan. Menyediakan fasilitas untuk mendukung aspek-aspek perkembangan anak, misal, menyediakan ruang bermain seperti playground atau lapangan basket untuk mengasah kemampuan motorik anak.

Memberikan pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar anak, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan lewat bermain terutama pada usia-usia SD awal. Guru sekolah dasar juga sebaiknya mengetahui tahapan perkembangan di usia sekolah, sehingga dapat mengembangkan kemampuan anak secara keseluruhan.

INDIKATOR KEMATANGAN BERSEKOLAH
1. Aspek FISIK
· Motorik Kasar
- Bisa duduk tegap.
- Berjalan lurus dan bervariasi.
- Berlari.
- Melompat.
- Melempar.
- Memanjat.
- Naik turun tangga.
- Mengombinasi gerakan seperti lompat, jongkok, tegak dan berguling.
· Motorik Halus
- Dapat memegang pensil dengan baik.
- Menggambar orang atau sesuatu dengan lebih rapi tidak berantakan.
- Bisa makan sendiri.
- Menulis angka.
- Mewarnai.
- Menggunting.
- Menyusun lego.

2. Aspek BAHASA
- Memperkenalkan diri, nama, alamat, dan keluarga dengan jelas.
- Bercerita mengenai keadaan di rumah, sekolah, permainan, dan lain-lain.
- Menjawab pertanyaan.
- Menyanyikan lagu.
- Menyebutkan seluruh anggota badan.
- Menirukan huruf, suku kata, dan kata.

3. Aspek KOGNITIF
- Menerangkan mengenai sesuatu, misalnya kegunaan suatu benda.
- Mengenal warna.
- Mengetahui angka atau bilangan.
- Membedakan bentuk.
- Dapat mengelompokkan benda/sesuatu.
- Memahami konsep penjumlahan dan pengurangan.
- Membaca tanda-tanda umum seperti di jalan.
- Dapat berpikir lebih fleksibel dan sebab akibat.
- Rasa keingintahuan yang besar dan mencari tahu jawabannya.

4. Aspek SOSIAL-EMOSIONAL
- Bisa bermain secara interakstif dengan temannya.
- Berperilaku sesuai norma yang ada di lingkungannya.
- Menghargai adanya perbedaan maupun pendapat orang lain.
- Tidak lagi terlalu bergantung/lengket pada orangtuanya.
- Dapat menolong orang lain/temannya.
- Menunjukkan rasa setia kawan deengan temannya.
- Bisa beradaptasi di lingkungan baru seperti teman atau guru.
- Bila diberi tahu sesuatu bisa mengerti.
- Dapat berkonsentrasi maksimal 15-20 menit.
- Bisa menunggu atau menahan keinginannya.
- Dapat patuh pada aturan dan tuntutan lingkungan.

5. Aspek KEMANDIRIAN
- Sudah bisa makan sendiri.
- Pakai baju sendiri.
- Menyikat gigi sendiri.
- Toilet learning.
- Mulai dapat teratur pada rutinitas, seperti bangun tidur.

sumber:

http://www.kancilku.com/Ind//index.php?option=com_content&task=view&id=566

Kamis, 30 April 2015

Lelah Yang Disukai Allah dan Rosul-Nya

Ada 8 kelelahan yang disukai Allah SWT dan Rasul-Nya :

1. Lelah dalam berjihad di jalan-Nya (QS. 9:111)

2. Lelah dalam berda'wah/mengajak kepada kebaikan (QS.41:33)

3. Lelah dalam beribadah dan beramal sholeh (QS.29:69)

4. Lelah mengandung, melahirkan, menyusui. merawat dan mendidik putra/putri amanah Illahi (QS. 31:14)

5. Lelah dalam mencari nafkah halal (QS. 62:10)

6. Lelah mengurus keluarga (QS. 66:6)

7. Lelah dalam belajar/menuntut ilmu (QS. 3:79)

8. Lelah dalam kesusahan, kekurangan dan sakit (QS.2:155)

Semoga kelelahan dan kepayahan yang kita rasakan menjadi bagian yang disukai Allah dan RasulNya. Aamiin yaa Rabbal-'aalamiin

Lelah itu nikmat. Bagaimana mungkin? Logikanya bagaimana? Jika anda seorang ayah, yang seharian bekerja keras mencari nafkah sehingga pulang ke rumah dalam kelelahan yang sangat. Itu adalah nikmat Allah swt yang luar biasa, karena banyak orang yang saat ini menganggur dan bingung mencari kerja.

Jika anda seorang istri yang selalu kelelahan dengan tugas rumah tangga dan tugas melayani suami yang tidak pernah habis. Sungguh itu nikmat luar biasa, karena betapa banyak wanita sedang menanti-nanti untuk menjadi seorang istri, namun jodoh tak kunjung hadir.

Jika kita orang tua yang sangat lelah tiap hari, karena merawat dan mendidik anak-anak, sungguh itu nikmat yang luar biasa. Karena betapa banyak pasangan yang sedang menanti hadirnya buah hati, sementara Allah swt belum berkenan memberi amanah.

Lelah dalam Mencari Nafkah

Suatu ketika Nabi saw dan para sahabat melihat ada seorang laki-laki yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja, seorang sahabat berkomentar: “Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya itu dipergunakannya di jalan Allah.”

Rasulullah saw menjawab: “Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena riya’ dan kesombongan, maka dia di jalan setan.” (Al-Mundziri, At-Targhîb wa At-Tarhîb).

Sungguh penghargaan yang luar biasa kepada siapa pun yang lelah bekerja mencari nafkah. Islam memandang bahwa usaha mencukupi kebutuhan hidup di dunia juga memiliki dimensi akhirat.

Bahkan secara khusus Rasulullah saw memberikan kabar gembira kepada siapa pun yang kelelahan dalam mencari rejeki. “Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan mencari rejeki pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni dosanya oleh Allah swt.”

Subhanallah, tidak ada yang sia-sia bagi seorang muslim, kecuali di dalamnya selalu ada keutamaan.

Kelelahan dalam bekerja bisa mengantarkan meraih kebahagiaan dunia berupa harta, di sisi lain dia mendapatkan keutamaan akhirat dengan terhapusnya dosa-dosa. Syaratnya bekerja dan lelah. Bukankah ini bukti tak terbantahkan, bahwa kelelahan ternyata nikmat yang luar biasa?

Kelelahan Mendidik Anak

Di hari kiamat kelak, ada sepasang orangtua yang diberi dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi.

Keduanya bingung dan bertanya: ”Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini?” Dikatakan kepada mereka: “Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anakmu.”

Merawat dan mendidik anak untuk menjadi generasi shaleh/shalehah bukan urusan yang mudah. Betapa berat dan sangat melelahkan. Harta saja tidak cukup.

Betapa banyak orang-orang kaya yang anaknya “gagal” karena mereka sibuk mencari harta, namun abai terhadap pendidikan anak. Mereka mengira dengan uang segalanya bisa diwujudkan. Namun, uang dibuat tidak berdaya saat anak-anak telah menjadi pendurhaka.

Berbahagialah manusia yang selama ini merasakan kelelahan dan berhati-hatilah yang tidak mau berlelah-lelah. Segala sesuatu ada hitungannya di sisi Allah swt. Kebaikan yang besar mendapat keutamaan, kebaikan kecil tidak akan pernah terlupakan.

Rasulullah saw bersabda: “Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu.”

Allah swt akan selalu menilai dan menghitung d
engan teliti dan tepat atas semua prestasi hidup kita, sebagaimana firman-Nya:

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”. (QS. An-Najm: 39-41).

8 Hal yang sebaiknya TIDAK di katakan kepada Anak

Anak adalah anugrah yang terindah yang diberikan oleh Allah kepada setiap orang tua, sehingga setiap orang tua ingin anak nya berhasil dan sukses dalam meniti kehidupan baik di dunia dan di akhirat. Seorang ibu adalah pendidik pertama dan utama untuk anak-anaknya, oleh karena itu, sebagai ibu kita perlu mengupgrade diri tiap hari agar bisa mendidik anak-anak kita sesuai dengan zaman di mana mereka hidup.

“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab. Pesan yang sungguh singkat dan mudah diingat.

Salah satu cara mendidik anak tentu saja melalui perantara lisan, sayangnya… banyak orangtua khususnya ibu, yang belum memahami pentingnya menjaga kata-kata di depan anak, karena dapat berpengaruh besar pada perkembangan diri, psikologis, dan konsep diri anak.

Berikut ini, 8 hal yang sebaiknya tidak dikatakan kepada anak, terutama usia sampai dengan tujuh tahun:

1. Memberikan Pernyataan Negatif tentang Diri Anak

“Kamu anak yang pelit!”

“Kamu pemalas!”

“Kamu gendut!”

“Kamu nakal!”

Jenis pernyataan semacam itu dapat menyakiti perasaan anak-anak. Mereka akan menjadi seperti  yang orang tua mereka katakan. Sungguh berbahaya, mengingat kata-kata seorang ibu bisa berarti doa untuk anak-anaknya.

Sebaliknya, katakanlah hal-hal positif kepada anak. Jika anak menerima nilai buruk, jangan mengatakan, “Kamu begitu bodoh!”; Katakan sesuatu yang lain. Sebagai contoh, katakanlah, “Jika kamu belajar lebih baik, kamu akan mendapatkan nilai yang lebih baik daripada ini karena kamu sebetulnya adalah anak pintar.” Bukankah kata-kata seperti ini akan lebih menenangkan hati anak kita?

2. Jangan katakan “Jangan Ganggu, Ibu Sibuk!”

Hal ini tampaknya seperti hal yang normal. Seorang ibu sibuk memasak di rumahnya. Atau ayah sibuk membaca berita menarik di koran. Atau mungkin juga melanjutkan tugas yang dibawa dari kantor. Lalu ia mengunci diri di kamarnya. Tiba-tiba anak datang dan meminta dia untuk sebuah bantuan. Dalam situasi yang ketat, orang tua dapat berteriak pada anak itu, “Jangan ganggu aku! Aku sibuk! ”

Menurut Suzette Haden Elgin PhD., penulis yang juga seorang pelatih bela diri verbal dikutip dari parenting.com, bahwa jika orang tua bertindak seperti itu, anak-anak mungkin merasa tidak berarti karena jika mereka meminta sesuatu pada orang tua mereka, mereka akan diberitahu untuk pergi.

Bayangkan… Jika sikap seperti itu diterapkan pada anak-anak kita, maka sampai mereka tumbuh dewasa, kemungkinan besar mereka akan merasa tidak ada gunanya berbicara dengan orangtua.

Di sisi lain, Suzette menyarankan bahwa jika memang sedang benar-benar sibuk, cobalah alihkan perhatian anak-anak untuk melakukan kegiatan lain sebelum kita membantu mereka. Misalnya, jika mereka meminta bantuan dalam melakukan pekerjaan rumah mereka dan kondisinya kita sedang benar-benar sibuk, mintalah mereka untuk melakukan aktivitas lain terlebih dahulu seperti menonton TV. Lalu kemudian, datanglah kepada mereka untuk membantu, asalkan gangguan tersebut tidak terlalu lama.

3. Jangan katakan “Jangan Menangis!”

Berurusan dengan anak-anak yang bertengkar dengan teman-teman mereka atau merasa kecewa karena perlakuan tertentu harus dilakukan secara bijaksana. Tidak perlu untuk memarahi atau meminta anak-anak anda untuk tidak cengeng. Banyak anak yang mengalami hal tersebut, orang tua mengatakan pada mereka, “Jangan cengeng!”, “Jangan sedih!”, “Jangan takut!”

Menurut Debbie Glasser, seorang psikolog anak, mengatakan kata-kata tersebut akan mengajarkan anak-anak bahwa perasaan sedih adalah sesuatu hal yang tidak umum, bahwa menangis bukanlah hal yang baik, sedangkan menangis sendiri merupakan ekspresi dari emosi tertentu yang setiap manusia miliki.

Oleh karena itu, untuk menangani masalah ini, akan lebih baik untuk meminta anak-anak menjelaskan apa yang membuat mereka sedih. Jika mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh teman-teman mereka, jelaskan pada mereka bahwa perilaku teman-teman mereka adalah tidak baik.

Dengan memberikan mereka gambaran perasaan yang mereka rasakan, orang tua telah memberikan mereka pelajaran empati. Anak-anak yang menangis akan segera menghentikan atau setidaknya mengurangi tangisan mereka.

4. Jangan Membanding-bandingkan Anak

“Lihatlah kakakmu, dia bisa melakukannya dengan cepat. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya juga?”

“Temanmu bisa menggambar dengan bagus, kenapa kamu tidak?”

“Dulu ketika kecil ibu bisa begini begitu, masa kamu tidak bisa?!”

Perbandingan  hanya akan membuat anak anda merasa bingung dan menjadi kurang percaya diri. Anak-anak bahkan mungkin membenci orang tua mereka karena mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari perbandingan tersebut (terhadap kakak, adik, atau anak-anak lain), sedangkan perkembangan setiap anak berbeda.

Daripada  membandingkan anak-anak, ibu sebaiknya membantu untuk menyelesaikan persoalannya. Misalnya, ketika anak mengalami masalah mengenakan pakaian mereka sementara saudara mereka bisa melakukannya lebih cepat, orang tua harus membantu mereka untuk melakukannya secara benar.

5. Jangan katakan “Tunggu Ayah Pulang ya! Biarkan kamu dihukum ayah”

Ada kalanya seorang ibu berada di rumah bersama anak-anak mereka tetapi tanpa ayahnya. Ketika anak-anak melakukan kesalahan, ibu tidak segera memberitahu anak-anak tentang kesalahan yang mereka buat. Si ibu hanya mengatakan, “Tunggu sampai ayahmu pulang.” Ini berarti menunggu sampai ayahnya yang akan menghukum nanti.

Menunda mengatakan kesalahan hanya akan memperburuk keadaan. Ada kemungkinan bahwa ketika seorang ibu menceritakan kembali kesalahan yang dilakukan anak-anak mereka, ibu malah membesar-besarkan sehingga anak-anak menerima hukuman yang lebih dari seharusnya.

Ada kemungkinan juga orang tua menjadi lupa kesalahan anak-anak mereka, sehingga kesalahan yang seharusnya dikoreksi terabaikan. Oleh karena itu, akan lebih baik untuk tidak menunda dalam mengoreksi kesalahan yang dilakukan anak-anak sebelum menjadi lupa sama sekali, dan

6. Jangan Terlalu mudah dan berlebihan memberi pujian

Rupanya, memberikan pujian dengan mudah juga bukan hal yang baik. Memberikan pujian dengan mudah akan terkesan “murah”. Oleh karena itu jika seorang anak melakukan sesuatu yang sederhana, tidak perlu memuji dengan “Luar Biasa! Luar Biasa!” Karena anak secara alamiah akan mengetahui hal-hal yang dia lakukan dengan biasa-biasa saja atau luar biasa.

Yang perlu diperhatikan juga, pujilah  sikap anak kita, dan jangan memuji dirinya atau hasil perbuatannya. Sekiranya ia mendapat hasil bagus di sekolah, pujilah “Alhamdulillaah, Ibu bangga dengan kerja keras kamu sehingga kamu mendapat nilai baik!”

Jika kita memuji hasil yang dilakukan anak dan bukan sikapnya, sangat mungkin anak kita akan berfokus pada hasil dan tidak peduli dengan sikap/ karakter yang baik, misalnya… demi mendapat nilai ujian bagus, anak akan rela mencontek atau bertanya pada teman ketika ujian.

7. Jangan Katakan “Kamu Selalu…” atau “Kamu tidak pernah…”

Janganlah melontarkan kalimat dengan “Kamu selalu….” atau “Kamu tidak pernah…”. Memang, kata-kata ini kadang refleks langsung terucap oleh orangtua, namun hindarilah penggunaan kalimat ini.

“Hati-hati, kedua kata-kata itu ada makna di dalamnya. Di dalam pernyataan “Kamu selalu…” dan “Kamu tidak pernah” adalah label yang bisa melekat selamanya di dalam diri anak,” ujar Jenn Berman PhD, seorang psikoterapis.

Berman mengungkapkan, kedua pernyataan yang kerap dilontarkan oleh orang tua ini akan membentuk kepribadian anak. Anak-anak akan menjadi seperti apa yang dikatakan terhadap dirinya. Bila orangtua mengatakan sang anak selalu lupa menelepon ke rumah jika pulang terlambat, maka ia akan menjadi anak yang tidak pernah menelepon ke rumah.

“Sebaliknya, bertanyalah kepada anak tentang apa yang bisa orangtua lakukan untuk membantu dia mengubah kebiasaannya. Misalnya, ‘Ibu perhatikan kamu sering lupa membawa pulang buku pelajaran ke rumah. Apa yang bisa Ibu bantu supaya kamu ingat untuk membawa bukumu pulang?’. Pernyataan seperti itu akan membuat anak merasa terbantu dan nyaman,” jelas dr Berman.

8. Jangan katakan “Bukan begitu caranya, sini biar ibu saja!”
Pernyataan lainnya yang harus kita hindari adalah “Bukan begitu caranya. Sini, biar Ibu saja.” Biasanya orangtua mengeluarkan pernyataan ini jika mereka meminta anak membantu sebuah pekerjaan, namun anak tidak melakukannya seperti yang dikehendaki. Dr Berman mengatakan, orang tua harus menghindari pernyataan ini.

“Ini sebuah kesalahan, karena ia (anak) menjadi tidak belajar bagaimana caranya. Daripada berkata demikian, lebih baik ibu melakukan langkah kolaboratif dengan mengajak anak melakukan pekerjaan itu bersama sambil  ibu menjelaskan bagaimana cara melakukannya,".
(Ummi-online)

Anak adalah anugrah yang terindah yang diberikan oleh Allah kepada setiap orang tua, sehingga setiap orang tua ingin anak nya berhasil dan sukses dalam meniti kehidupan baik di dunia dan di akhirat. Seorang ibu adalah pendidik pertama dan utama untuk anak-anaknya, oleh karena itu, sebagai ibu kita perlu mengupgrade diri tiap hari agar bisa mendidik anak-anak kita sesuai dengan zaman di mana mereka hidup.

“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab. Pesan yang sungguh singkat dan mudah diingat.

Salah satu cara mendidik anak tentu saja melalui perantara lisan, sayangnya… banyak orangtua khususnya ibu, yang belum memahami pentingnya menjaga kata-kata di depan anak, karena dapat berpengaruh besar pada perkembangan diri, psikologis, dan konsep diri anak.

Berikut ini, 8 hal yang sebaiknya tidak dikatakan kepada anak, terutama usia sampai dengan tujuh tahun:

1. Memberikan Pernyataan Negatif tentang Diri Anak

“Kamu anak yang pelit!”

“Kamu pemalas!”

“Kamu gendut!”

“Kamu nakal!”

Jenis pernyataan semacam itu dapat menyakiti perasaan anak-anak. Mereka akan menjadi seperti  yang orang tua mereka katakan. Sungguh berbahaya, mengingat kata-kata seorang ibu bisa berarti doa untuk anak-anaknya.

Sebaliknya, katakanlah hal-hal positif kepada anak. Jika anak menerima nilai buruk, jangan mengatakan, “Kamu begitu bodoh!”; Katakan sesuatu yang lain. Sebagai contoh, katakanlah, “Jika kamu belajar lebih baik, kamu akan mendapatkan nilai yang lebih baik daripada ini karena kamu sebetulnya adalah anak pintar.” Bukankah kata-kata seperti ini akan lebih menenangkan hati anak kita?

2. Jangan katakan “Jangan Ganggu, Ibu Sibuk!”

Hal ini tampaknya seperti hal yang normal. Seorang ibu sibuk memasak di rumahnya. Atau ayah sibuk membaca berita menarik di koran. Atau mungkin juga melanjutkan tugas yang dibawa dari kantor. Lalu ia mengunci diri di kamarnya. Tiba-tiba anak datang dan meminta dia untuk sebuah bantuan. Dalam situasi yang ketat, orang tua dapat berteriak pada anak itu, “Jangan ganggu aku! Aku sibuk! ”

Menurut Suzette Haden Elgin PhD., penulis yang juga seorang pelatih bela diri verbal dikutip dari parenting.com, bahwa jika orang tua bertindak seperti itu, anak-anak mungkin merasa tidak berarti karena jika mereka meminta sesuatu pada orang tua mereka, mereka akan diberitahu untuk pergi.

Bayangkan… Jika sikap seperti itu diterapkan pada anak-anak kita, maka sampai mereka tumbuh dewasa, kemungkinan besar mereka akan merasa tidak ada gunanya berbicara dengan orangtua.

Di sisi lain, Suzette menyarankan bahwa jika memang sedang benar-benar sibuk, cobalah alihkan perhatian anak-anak untuk melakukan kegiatan lain sebelum kita membantu mereka. Misalnya, jika mereka meminta bantuan dalam melakukan pekerjaan rumah mereka dan kondisinya kita sedang benar-benar sibuk, mintalah mereka untuk melakukan aktivitas lain terlebih dahulu seperti menonton TV. Lalu kemudian, datanglah kepada mereka untuk membantu, asalkan gangguan tersebut tidak terlalu lama.

3. Jangan katakan “Jangan Menangis!”

Berurusan dengan anak-anak yang bertengkar dengan teman-teman mereka atau merasa kecewa karena perlakuan tertentu harus dilakukan secara bijaksana. Tidak perlu untuk memarahi atau meminta anak-anak anda untuk tidak cengeng. Banyak anak yang mengalami hal tersebut, orang tua mengatakan pada mereka, “Jangan cengeng!”, “Jangan sedih!”, “Jangan takut!”

Menurut Debbie Glasser, seorang psikolog anak, mengatakan kata-kata tersebut akan mengajarkan anak-anak bahwa perasaan sedih adalah sesuatu hal yang tidak umum, bahwa menangis bukanlah hal yang baik, sedangkan menangis sendiri merupakan ekspresi dari emosi tertentu yang setiap manusia miliki.

Oleh karena itu, untuk menangani masalah ini, akan lebih baik untuk meminta anak-anak menjelaskan apa yang membuat mereka sedih. Jika mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh teman-teman mereka, jelaskan pada mereka bahwa perilaku teman-teman mereka adalah tidak baik.

Dengan memberikan mereka gambaran perasaan yang mereka rasakan, orang tua telah memberikan mereka pelajaran empati. Anak-anak yang menangis akan segera menghentikan atau setidaknya mengurangi tangisan mereka.

4. Jangan Membanding-bandingkan Anak

“Lihatlah kakakmu, dia bisa melakukannya dengan cepat. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya juga?”

“Temanmu bisa menggambar dengan bagus, kenapa kamu tidak?”

“Dulu ketika kecil ibu bisa begini begitu, masa kamu tidak bisa?!”

Perbandingan  hanya akan membuat anak anda merasa bingung dan menjadi kurang percaya diri. Anak-anak bahkan mungkin membenci orang tua mereka karena mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari perbandingan tersebut (terhadap kakak, adik, atau anak-anak lain), sedangkan perkembangan setiap anak berbeda.

Daripada  membandingkan anak-anak, ibu sebaiknya membantu untuk menyelesaikan persoalannya. Misalnya, ketika anak mengalami masalah mengenakan pakaian mereka sementara saudara mereka bisa melakukannya lebih cepat, orang tua harus membantu mereka untuk melakukannya secara benar.

5. Jangan katakan “Tunggu Ayah Pulang ya! Biarkan kamu dihukum ayah”

Ada kalanya seorang ibu berada di rumah bersama anak-anak mereka tetapi tanpa ayahnya. Ketika anak-anak melakukan kesalahan, ibu tidak segera memberitahu anak-anak tentang kesalahan yang mereka buat. Si ibu hanya mengatakan, “Tunggu sampai ayahmu pulang.” Ini berarti menunggu sampai ayahnya yang akan menghukum nanti.

Menunda mengatakan kesalahan hanya akan memperburuk keadaan. Ada kemungkinan bahwa ketika seorang ibu menceritakan kembali kesalahan yang dilakukan anak-anak mereka, ibu malah membesar-besarkan sehingga anak-anak menerima hukuman yang lebih dari seharusnya.

Ada kemungkinan juga orang tua menjadi lupa kesalahan anak-anak mereka, sehingga kesalahan yang seharusnya dikoreksi terabaikan. Oleh karena itu, akan lebih baik untuk tidak menunda dalam mengoreksi kesalahan yang dilakukan anak-anak sebelum menjadi lupa sama sekali, dan

6. Jangan Terlalu mudah dan berlebihan memberi pujian

Rupanya, memberikan pujian dengan mudah juga bukan hal yang baik. Memberikan pujian dengan mudah akan terkesan “murah”. Oleh karena itu jika seorang anak melakukan sesuatu yang sederhana, tidak perlu memuji dengan “Luar Biasa! Luar Biasa!” Karena anak secara alamiah akan mengetahui hal-hal yang dia lakukan dengan biasa-biasa saja atau luar biasa.

Yang perlu diperhatikan juga, pujilah  sikap anak kita, dan jangan memuji dirinya atau hasil perbuatannya. Sekiranya ia mendapat hasil bagus di sekolah, pujilah “Alhamdulillaah, Ibu bangga dengan kerja keras kamu sehingga kamu mendapat nilai baik!”

Jika kita memuji hasil yang dilakukan anak dan bukan sikapnya, sangat mungkin anak kita akan berfokus pada hasil dan tidak peduli dengan sikap/ karakter yang baik, misalnya… demi mendapat nilai ujian bagus, anak akan rela mencontek atau bertanya pada teman ketika ujian.

7. Jangan Katakan “Kamu Selalu…” atau “Kamu tidak pernah…”

Janganlah melontarkan kalimat dengan “Kamu selalu….” atau “Kamu tidak pernah…”. Memang, kata-kata ini kadang refleks langsung terucap oleh orangtua, namun hindarilah penggunaan kalimat ini.

“Hati-hati, kedua kata-kata itu ada makna di dalamnya. Di dalam pernyataan “Kamu selalu…” dan “Kamu tidak pernah” adalah label yang bisa melekat selamanya di dalam diri anak,” ujar Jenn Berman PhD, seorang psikoterapis.

Berman mengungkapkan, kedua pernyataan yang kerap dilontarkan oleh orang tua ini akan membentuk kepribadian anak. Anak-anak akan menjadi seperti apa yang dikatakan terhadap dirinya. Bila orangtua mengatakan sang anak selalu lupa menelepon ke rumah jika pulang terlambat, maka ia akan menjadi anak yang tidak pernah menelepon ke rumah.

“Sebaliknya, bertanyalah kepada anak tentang apa yang bisa orangtua lakukan untuk membantu dia mengubah kebiasaannya. Misalnya, ‘Ibu perhatikan kamu sering lupa membawa pulang buku pelajaran ke rumah. Apa yang bisa Ibu bantu supaya kamu ingat untuk membawa bukumu pulang?’. Pernyataan seperti itu akan membuat anak merasa terbantu dan nyaman,” jelas dr Berman.

8. Jangan katakan “Bukan begitu caranya, sini biar ibu saja!”
Pernyataan lainnya yang harus kita hindari adalah “Bukan begitu caranya. Sini, biar Ibu saja.” Biasanya orangtua mengeluarkan pernyataan ini jika mereka meminta anak membantu sebuah pekerjaan, namun anak tidak melakukannya seperti yang dikehendaki. Dr Berman mengatakan, orang tua harus menghindari pernyataan ini.

“Ini sebuah kesalahan, karena ia (anak) menjadi tidak belajar bagaimana caranya. Daripada berkata demikian, lebih baik ibu melakukan langkah kolaboratif dengan mengajak anak melakukan pekerjaan itu bersama sambil  ibu menjelaskan bagaimana cara melakukannya,".
(Sumber Ummi-online)